JAKARTA – Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menginisiasi Hari Kesiapsiagaan Bencana dengan mengajak semua pihak meluangkan satu hari untuk melakukan latihan kesiapsiagaan bencana secara seretak pada tanggal 26 April.
Inisiasi dari BNPB menjadikan tanggal 26 April sebagai Hari Kesiapsiagaan Bencana tersebut bertujuan untuk membudayakan latihan secara terpadu, terencana dan berkesinambungan guna meningkatkan kesadaran, kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat menuju Indonesia Tangguh Bencana.
Kegiatan utama pada Hari Kesiapsiagaan Bencana adalah dilaksanakannya latihan atau simulasi serentak di seluruh wilayah Indonesia, seperti latihan evakuasi mandiri, simulasi kebencanaan, uji sirine peringatan dini, uji shelter dan lainnya.
Harapan dari latihan ini untuk memberikan pengetahuan kepada kita mengenai di mana posisi kita, serta risiko apa yang ada di sekitar kita, lalu apa solusinya dalam merespon risiko bencana tersebut.
Kegiatan latihan evakuasi mandiri di seluruh Indonesia akan dilaksanakan secara serentak di sejumlah lokasi antara lain sebagai berikut: Sekolah di Lingkungan Dinas Pendidikan, Madrasah di lingkungan Kanwil Agama, Pom Bensin Pertamina, Lingkungan PT PAM, Bandara udara, Sekolah di lingkungan Dinas Pendidikan, Madrasah di lingkungan Kanwil Agama, Kantor Pemerintah Daerah, Jajaran TNI/POLRI, Hotel, Kantor Perbankan, Pusat Perbelanjaan Modern (Mall), Apartemen, Kondominium, Rusunawa, Perumahan yang Dikelola Pengembang dan Kawasan Permukiman Penduduk,dll.
Adapun pilihan tanggal 26 April, sebagai Hari Kesiapsiagaan Bencana sebagaimana di sampaikan oleh Kepala BNPB, H.E Willem Rampangilei pada acara sosialisasi persiapan pencanangan Hari Kesiapsiagaan Bencana di Graha BNPB, Jumat (17/03), dilatarbelakangi 10 tahun ditetapkannya Undang-Undang No.24 Tahun 2007 tentang Penangulangan Bencana yang jatuh pada 26 April 2017.
Dimana Undang-undang ini sangat penting karena telah melahirkan berbagai legislasi, kebijakan dan program pemerintah yang mendukung kegiatan mitigasi dan kesiapsiagaan terhadap bencana. Sebagai titik awal perubahan paradigma dan mengubah cara pandang menyikapi bencana yang semula respon menuju paradigma pengurangan risiko bencana.
Selanjutnya kegiatan ini akan dikembangkan secara nasional menjadi Hari Kesiapsiagaan Bencana di Indonesia yang diharapkan akan ditetapkan secara langsung oleh Bapak Presiden pada 26 April 2018.
“Upaya pengurangan risiko bencana melalui latihan kesiapsiagaan, mitigasi struktural dan non struktural harus diperhitungkan sebagai investasi untuk keberlanjutan usaha dan pembangunan,â€jelas Willem.
Semua orang, lanjut Willem, mempunyai risiko terhadap potensi bencana tersebut, sehingga penanganan bencana merupakan urusan semua pihak (Everybody’s business). Oleh sebab itu perlu dilakukan berbagi peran dan tanggung jawab (Shared responsibility) dalam peningkatan kesiapsiagaan disemua tingkatan baik untuk anak, remaja, dan dewasa. Seperti yang telah dilakukan di Jepang untuk menumbuhkan kesadaran kesiapsiagaan bencana.
Willem juga memaparkan, terkait tren bencana kedepan terus cenderung meningkat, diantaranya 92% adalah bencana hidrometeorologi. Â Peningkatan bencana disebabkan oleh faktor alam dan antropogenik. Faktor alam meliputi dampak perubahan iklim global dimana frekuensi hujan ekstrim makin meningkat dan kerentanan lingkungan. Sedangkan, pengaruh antropogenik meliputi tingginya degradasi lingkungan, permukiman di daerah rawan bencana, DAS kritis, urbanisasi, dan lainnya.
Selain dapat kita ketahui rekapitulasi kejadian dan dampak bencana tahun 2016 dimana terjadi 2,384 bencana yang mengakibatkan 521 jiwa meninggal dunia dan hilang, 3,164 juta jiwa menderita dan mengungsi.
Kerusakan dan kerugian akibat bencana tertinggi masih didominasi oleh gempa bumi dan diikuti oleh bencana banjir dengan rata-rata kerugian setiap tahun akibat bencana sekitar 30 trilyun rupiah.
Berdasarkan hasil kajian risiko bencana tahun 2015 yang disusun oleh BNPB (inarisk.bnpb.go.id), potensi jumlah jiwa terpapar risiko bencana, jumlah kerugian fisik, ekonomi, dan lingkungan, berkategori sedang-tinggi yang tersebar di 34 provinsi, per jenis ancaman bencana adalah sebagai berikut:
Lima jenis bencana jiwa terpapar tertinggi adalah: Puting Beliung sebanyak 244 juta jiwa, diikuti dengan kekeringan sebanyak 228 juta jiwa, dan banjir sebanyak 100 juta jiwa, lalu gempa bumi sebanyak 86 juta jiwa, dan bencana tanah longsor sebesar 14 juta jiwa. Sedangkan untuk potensi kerugian fisik tertinggi untuk ancaman gempa bumi sebesar 467 milyar, dan banjir sebesar 176 milyar, tanah longsor sebesar 78 milyar.
Seterusnya untuk potensi dampak ekonomi tertinggi adalah kekeringan sebesar 192 milyar, diikuti dengan bencana gempa bumi sebesar 182 milyar, dan bencana banjir sebesar 140 milyar.
Selain itu, untuk potensi dampak lingkungan tertinggi adalah ancaman bencana kekeringan 63 ribu hektar, diikuti oleh bencana kebakaran hutan dan lahan 42 ribu hektar, dan tanah longsor sebesar 42 ribu hektar.
Sementara itu menurut hasil penelitian dan survey di Jepang, Great Hansin Earthquake 1995, korban bencana yang dapat selamat dalam durasi “golden times†disebabkan oleh : Kesiapsiagaan diri sendiri sebesar 35 %, Dukungan anggota keluargasebesar 31,9 %, Dukungan teman/tetangga sebesar 28,1%, Dukungan orang disekitarnya sebesar 2,60%, Dukungan Tim SAR sebesar 1,70 % dan Lain-lain sebesar 0,90%.
“Sangatlah jelas bahwa berdasarkan hasil kajian tersebut, maka individu dan masyarakat merupakan kunci utama yang perlu terus ditingkatkan,†ujar Willem.
Atas dasar beberapa kajian dan refrensi hasil survei tersebut, BNPB mendorong masyarakat untuk mampu mengelola ancaman dari bencana yang kerap/berpotensi terjadi di lingkungannya. Masyarakat wajib tahu dan paham apa yang dilakukan saat gempa bumi, kebakaran gedung, tsunami, banjir bandang, tanah longsor atau letusan gunung api terjadi di lokasi mereka berada.
—————
Pesan ini disiarkan Badan Penanggulangan Bencana Nasional dan Ditjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika.