Ada dua peristiwa penting yang kita peringati pada tanggal 3 Desember, dan keduanya secara kebetulan mempunyai keterkaitan yang cukup erat. Tanggal 3 Desembar yang pertama ditetapkan sebagai hari Bhakti Kementrian Pekerjaan Umum, dan yang kedua ditetapkan sebagai Hari Internasional Penyandang Disabilitas (International Day of Person with Disabilities / IDPwD). Mengapa saya berpikir keduanya mempunyai keterkaitan? akan saya ulas secara singkat. Bagi kita mungkin kedua hari jadi tersebut tidak ada artinya atau hanya sebagai hari peringatan dan seremonial biasa. Tanggal 3 Desember yang pertama adalah hari Bhakti Kementrian Pekerjaan Umum dimana pada hari tersebut diperingati sebagai hari bersejarah bagi warga Departemen Pekerjaan Umum. Karena pada tanggal tersebut kurang lebih 57 tahun yang lalu terjadi peristiwa bersejarah. Gugur tujuh orang karyawan yang berjuang mempertahankan markas Departemen PU di Kota Bandung yang dikenal sebagai “Gedung Sate”. Peristiwa ini kemudian dikenang dan diperingati sebagai Hari Kebhaktian Pekerjaan Umum. Dan yang kedua adalah Hari Internasional Penyandang Disabilitas setiap tahun diperingati pada tanggal 3 Desember dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang penyandang disabilitas. Khusus untuk yang kedua mungkin kita masih sangat asing dengan hari tersebut, Namun bagi sodara-sodara kita para penyandang disabilitas tentunya banyak makna dan harapan didalamnya. Diantaranya adalah hak-hak fundamental para penyandang disabilitas dan integrasi para penyandang disabilitas di dalam setiap aspek kehidupan utama seperti aspek sosial, politik, ekonomi dan status budaya masyarakat mereka. Dari data yang saya himpun, bahwasanya jumlah Persentase penyandang disabilitas di Indonesia berdasarkan hasil Susenas (Survey social ekonomi nasional) tahun 2012 adalah sebesar 2,45%. Terbanyak adalah penyandang yang mengalami lebih dari satu jenis keterbatasan, yaitu sebesar 39,97%, diikuti keterbatasan melihat 29.60%, Mendengar 7.87%, Berkomunikasi 2.74%, Mengingat atau berkonsentrasi 6.70% Berjalan atau naik tangga 10.26% dan Mengurus diri sendiri 2.83%. untuk Provinsi Kalimantan Sendiri berjumlah 2.30%. ini hanya sebagai gambaran tentang matriks penyandang disabilitas yang tentunya data tersebut bisa saja berubah untuk saat ini. Namun saya tidak akan membahasnya lebih jauh lagi mengenai situasi dan konsidi penyandang disabilitas tersebut. Disini saya akan lebih fokus ke pekerjaan konstruksi. Nah, Kira-kira hubungan apalagi antara penyandang disabilitas dengan konstruksi??
Di Kabupaten Banjar dengan ibu kota Martapura pembangunan berjalan dengan sangat baik dan berimbang, disana-sini terlihat bangunan-bangunan gedung bertingkat, tidak hanya bangunan gedung milik Pemerintah Daerah juga berdiri bangunan gedung milik Swasta atau perorangan. Khusus untuk bangunan-bangunan yang menjadi fasilitas publik, seperti Kantor Pemerintah, Bank, Rumah Sakit, Tempat Ibadah, Stadion, Hotel, Mall, Pusat Perbelanjaan, Gedung Serba Guna, Bahkan Ruang Terbuka Hijau atau Fasilitas Publik lainnya. Sudahkah kita melihat adanya akses, sarana dan prasarana untuk para penyandang disabilitas tersebut tersedia dengan layak dan pantas? Mungk inya ada,tapi bisa juga tidak ada. Hanya sebagian yang menyediakan akses jalan untuk para penyandang disabilitas tersebut. Mall mungkin menyiapkan lift atau tangga escalator namun Pusat Perbelanjaan Tradisional (Pasar bertingkat) mungkin tidak ada lift atau tangga escalator.
Hal ini tentunya menjadi sangat ironis. Mengapa? Karena menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.30/PRT/M/2006 tentang pedoman fasilitas dan aksesibilitas pada bangunan gedung dan lingkungan, sudah jelas mengatakan bahwa pada Pasal I poin 2 dimana “fasilitas adalah semua atau sebagian dari kelengkapan sarana dan prasarana pada bangunan gedung dan lingkungannya agar dapat di akses dan dimanfaatkan oleh semua orang termasuk penyandang cacat dan lansia”. Kalo kita cermati lebih spesifik dan berurutan, semuanya memang berawal dari perencanaan pembangunan sebuah bangunan gedung. Saya menilai bahwa perencana bangunan gedung sering “terlupa” untuk mendesain dan memasukan akses untuk para penyandang disabilitas. Kita bisa lihat langsung kelapangan adakah jalan buat kursi roda naik kelantai yang tingginya berbeda misalnya? Atau handle rail untuk penyandang buta di dinding suatu gedung, atau lainnya..?? Sementara yang kita lihat kebanyakan lantai bangunan gedung rata-rata berjarak 30-50 cm dari permukaan tanah. Hal ini tentunya sangat menyulitkan bagi mereka. Belum lagi kita melihat trotoar atau pedestarian yang dibangun cukup mewah dengan pot-pot tanaman yang besar diatasnya. Bagaimana mereka para penyandang disabilitas bisa menggunakan fasilitas tersebut?! Sedangkan untuk naik keatasnya saja mereka kesulitan. Bahkan Ketua Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki sempat mengatakan bahwasanya selama ini penyandang disabilitas sangat sulit mendapatkan akses keadilan ketika berproses di pengadilan baik jaminan sarana fisik maupun prosedur hukum yang ‘ramah’. Dia menjelaskan sarana dan prasana fisik di sejumlah lembaga hokum termasuk pengadilan masih didesain untuk masyarakat umum, belum mengakomodir aksesibilitas bagi penyandang disabilitas.
Namun begitu semuanya tidak serta merta adalah kesalahan para perencana bangunan gedung, kita semua tentunya punya kewajiban untuk memperbaikinya. Terutama para pemangku kepentingan yang terlibat langsung dalam pembangunan sebuah gedung. Review design mutlak dilakukan sekarang apabila tidak ada akses termuat dalam sebuah gambar rencana pembangunan gedung. Koreksi dan masukan sangat dibutuhkan oleh para perencana untuk melakukan perbaikan fungsi, manfaat dan efisiensi dari sebuah perencanaan bangunan gedung. Karena bangunan gedung yang baik itu adalah bangunan yang bisa dimanfaatkan oleh semua pihak dan berfungsi dengan baik sebagaimana yang diharapkan.
Terakhir tentunya, harapan saya dan kita semua tentunya, semoga kedepan setiap perencanaan bangunan gedung selalu memperhatikan dan membuat design untuk akses para penyandang disabilitas. Tidak ada lagi kesenjangan yang nampak terlihat sehingga tercipta rasa keadilan sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang terkait. Wassalam.
Penulis,
Achmad Revani, ST
Kasubbag Pengendalian Pembangunan
Bagian Pembangunan Sekretariat Daerah Kab. Banjar